Pengangguran Meningkat di Indonesia, Kebijakan Ketenagakerjaan Pemerintah Dinilai Sebagai Solusi Tambal Sulam
Liga335 – Banyak lulusan universitas yang terus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka, sebuah keprihatinan yang menjadi perhatian serius pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2025, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76 persen.
Angka ini menandai peningkatan 83.
000 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, lulusan sekolah menengah atas dan universitas menempati urutan tertinggi di antara para penganggur. Hal ini menunjukkan bahwa angkatan kerja muda masih kurang terserap di pasar kerja yang tersedia.
Wisnu Setiadi Nugroho, menilai kebijakan ketenagakerjaan pemerintah masih terfragmentasi dan bersifat jangka pendek.
“Banyak kebijakan pemerintah saat ini yang bersifat tambal sulam dan jangka pendek, sementara solusi jangka panjang seperti mengatasi ketidakcocokan vertikal dan horizontal masih kurang. Hal tersebut tidak dipertimbangkan dengan baik,” kata Dr.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Jumat (24/10).
Nugroho mengungkapkan keprihatinannya terhadap semakin banyaknya mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Bahkan ketika ada kesempatan, pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka masih langka.
“Di banyak kampus, kita sering mendengar keluhan tentang sulitnya mencari pekerjaan,” katanya.
Dia juga menunjukkan bahwa pemerintah belum memberikan penekanan yang cukup pada kebijakan kesejahteraan jangka panjang bagi para pekerja, terutama di bidang-bidang seperti tunjangan hari tua dan pensiun, yang menjamin standar hidup yang layak.
“Masih belum ada kebijakan yang koheren yang benar-benar memastikan pekerja dapat hidup dengan aman di masa depan,” tambahnya.
Nugroho juga mengkritik program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah, dengan alasan bahwa program ini tidak memiliki ekosistem yang mendukung bagi para penerima beasiswa setelah mereka menyelesaikan studi mereka.
“Tidak mengherankan jika banyak penerima beasiswa yang pada akhirnya tidak kembali ke Indonesia. Hal ini Isu ini sering diangkat dalam diskusi tentang mengapa beasiswa tersebut diberikan,” jelasnya.
Ia juga mencatat bahwa sistem meritokrasi di pasar tenaga kerja Indonesia telah gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, banyak anak muda yang telah bekerja keras, mengejar pendidikan tinggi, dan mengembangkan keterampilan mereka mendapati diri mereka tergusur oleh sistem yang tidak adil.
“Posisi dan kesempatan terkadang diisi oleh individu yang muncul tiba-tiba tanpa catatan kontribusi yang jelas.
Generasi Z tidak hanya mencari pekerjaan yang stabil, tetapi juga ruang untuk aktualisasi diri. Ketika kerja keras mereka tidak mendapatkan imbalan yang adil, kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap sistem menjadi hal yang tidak terelakkan di kalangan generasi muda,” pungkas Dr.