Analisis Psikolog: Uang Kerap Digunakan Jadi Alat Regulasi Emosi, Pemicu Utama Impulsive Buying dan Utang

JAKARTA, DETIKHEALTH (liga335) — Psikolog Klinis dan Konsultan Keuangan menyoroti sebuah fenomena yang kian marak di masyarakat modern: uang seringkali digunakan sebagai alat untuk meregulasi atau mengelola emosi, bukan hanya sebagai alat tukar kebutuhan. Praktik ini, yang populer dikenal sebagai retail therapy atau impulsive buying, dinilai memberikan kepuasan sementara namun berpotensi memicu masalah kesehatan finansial jangka panjang.

Ketergantungan pada uang untuk mengatasi emosi negatif dapat menciptakan siklus kebiasaan buruk yang sulit diputus.


I. Mekanisme Psikologis di Balik Retail Therapy

 

Psikolog Klinis, [Simulasi: Dr. Farah Amalia, M.Psi.], menjelaskan bahwa penggunaan uang untuk regulasi emosi terjadi karena beberapa mekanisme psikologis dasar:

  • Pelepasan Dopamin: Saat seseorang membeli barang baru, otak melepaskan hormon dopamin, menciptakan perasaan senang dan euforia singkat. Ini berfungsi sebagai pengalih perhatian instan dari rasa cemas, sedih, atau stres yang sedang dialami.

  • Ilusi Kontrol: Dalam situasi hidup yang terasa kacau atau tak terkendali (misalnya, stres pekerjaan atau masalah hubungan), tindakan membeli atau mengeluarkan uang memberikan ilusi kontrol yang kuat, seolah-olah individu tersebut mengendalikan sesuatu dalam hidupnya.

  • Mengisi Kekosongan: Bagi sebagian orang, barang material digunakan untuk mengisi kekosongan emosional atau rasa kesepian. Uang menjadi media untuk mencari validasi eksternal.

“Uang menjadi ‘obat penenang’ tercepat. Saat kita stres, kita belanja. Sensasi transaksi itu memberi kita dopamine hit instan. Masalahnya, efeknya cepat hilang, dan yang tersisa adalah barang yang tidak dibutuhkan dan utang,” jelas Dr. Farah.

II. Siklus Negatif dan Dampak Finansial Jangka Panjang

 

Ketergantungan pada uang sebagai regulator emosi menciptakan siklus negatif yang merusak:

  1. Stres Awal: Merasa cemas/sedih.

  2. Solusi Cepat: Melakukan impulsive buying (misalnya membeli barang online).

  3. Kepuasan Sesaat: Merasa senang sementara waktu.

  4. Stres Baru: Muncul rasa bersalah (guilt) dan cemas karena melihat tagihan atau saldo yang menipis.

  5. Siklus Berulang: Stres baru ini kemudian memicu kebutuhan untuk mencari dopamine hit lagi, yang berujung pada belanja kembali.

Siklus ini adalah pemicu utama utang konsumtif dan ketidakstabilan finansial, yang pada akhirnya justru menambah beban emosional yang lebih besar.

III. Solusi Sehat Mengelola Emosi

 

Dr. Farah menyarankan agar individu yang merasa terjebak dalam siklus ini beralih ke mekanisme coping yang lebih sehat dan berkelanjutan:

  • Identifikasi Pemicu: Kenali emosi dan pemicu stres yang sebenarnya. Sebelum berbelanja, tanyakan: “Apakah saya butuh ini, atau saya hanya sedang stres?”

  • Alihkan Perhatian Fisik: Ganti belanja dengan aktivitas fisik, seperti olahraga, meditasi, menulis jurnal, atau berbicara dengan teman.

  • Cari Bantuan Profesional: Jika perilaku impulsive spending sudah tidak terkontrol dan menyebabkan masalah finansial serius, segera cari bantuan psikolog atau konsultan keuangan.